Banyak sudah diulas oleh para Ulama dan Penggiat Zakat tentang
kecemerlangan zakat di zaman Khalifah Umar bin Abdul Azis yang hidup 60 – 101 H,
di saat negeri ini dilanda korupsi, nepotisme, serakah dan budaya memboroskan anggaran,
sepertinya potret negeri ini sesungguhnya tidak jauh jauh beda dengan keadaan
ini pada zaman sebelum naiknya Umar bin Abdul azis menjadi khalaifah. Namun betulkah
dengan zakat yang hanya 2,5% mampu mengulangi sejarah gemilangnya zakat. sesungguhnya
sebelum melangkah jauh kesana ada baiknya mentelaah bagaimana formulasi capasity
building terhadap Baitul Mal yang dilakukan oleh Umar Bin Abdul Azis di saat
negeri mengalami kronis. Ada beberapa langkah
fundamental yang dilakukan oleh beliau, sehingga dalam tempo cukup 2,5 tahun
mampu memakmurkan negeri dari semenanjung Bagdad
hingga Afrika. bahkan konon saat itu pasukan islam sudah di pintu gerbang kota Paris
di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. beberapa langkah ini merupakan
makna tersirat dari kisah tauladan khlaifah Umar bin Abdul Azis, ternyata
tanpa sengaja tidak hanya menjadi strategi penguatan Baitul Mal namun lebih
dari itu memiliki bobot pendidikan bagi masyarakat dimana akan bermuara
kemballi ke Baitul Mal :
Kedermawanan
Pertama karir Khalifah, di awali
dengan penyerahan harta beliau dan
melucuti perhiasan keluarganya ke Baitul Mal, sangat sadar apa yang dilakukan,
tidak sekedar memberi kontibusi penganan kemiskinan tetapi lebih dari beliau memberi contoh bederma menjadi life
style, karena kedermawanan bukan hanya urusan pahala tetapi memilii dimensi
sosial, hal ini menjadi contoh yang baik tidak hanya bagi rakyatnya tetapi membidik
para pejabatnya yang kurang
mempedullikan Baitul Mal, maka nyatalah bagi pengelola Baitul Mal haruslah
ditopang tidak hanya profesional semata tetapi memiliki akhlak pemurah dan dermawan.
saat itupulaah publikasi existansi
baitulmal tersebar dimana-mana , pungutan zakat sangat gencar dilakukan. tidak
peduli kalangan istana sekalipun. dan beliau tidak segan-segan mengambil paksa harta
para pejabat yang diperoleh dari kedzaliman untuk dimasukkan ke Baitul Mal.
untuk berkaca kepada rasulullah tentang kederemawanan terasa jauh tetapi jika
keteladanan itu diperlihatkan dan dekat, apalagi ia seorang pemimpin yang
memiliki otoritas tinggi, maka sangat mungkin untuk diikuti oleh anak buahnya.
Meninggalkan Keborosan
pada zaman khalifah sebelumnya sudah biasa seorang khalifah hidup dalam
kemewahan, dan boros dalam penyelenggaraan negara hanya untuk memuaskan selera,
begitulah jika hidup boros sudah menjadi kultur mencerminkan kurangnya perencanaan
yang baik, dan tamak mengabaikan sisi kemanusian sehingga terjebak di dalamnya dapat mengurangi
produktifitas.
namun disaat beliau pimpim berubah 180 derajat beliau menonaktifkan pegawai pribadi yang mana
sudah lazim sebelum beliau. kehati-hatian
dalam menggunakan anggaran belanja negara sudah diperlihatkan bagaimana beliau
memeran seorang pemangku kebijakan dikisahkan Suatu hari disaat beliau hendak
tidur malam datang utusan, Utusan itu
masuk, dan Umar memerintahkan untuk menyalakan lilin yang besar milik negara
untuk mengadukan keadaan umat di wilayahnya namun tatkala pindah ketopik
pribadi Umar, beliau segera memerintahkan untuk menyalakan lilin kecil yang
berasal dari dan pribadi khalifah. Begitupun tatkala mengelola dana umat maka
yang harus diperhatikan adalah efesiensi mengacu pada minimal cost dan nilai kepantasan
tanpa meninggalkan hak dan kewajiban dimana dapat diukur oleh hati, sedangkan hati
akan membimbing manusia tatkala sering disirami dengan zikir dan tafakur.
Menghindar dari
Hadiah
Jika jabatan telah sampai dipundak maka harapan mendapat hadiah harus
ditepis, karena dalam mengambil kebijakan tidak boleh berdasarkan hutang budi,
dikisahkan dari
Amir bin Muhajir bahwa suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin sekali makan apel. Lalu
salah seorang lelaki dari anggota keluarganya menghadiahkan apel kepadanya.
Umar berkata, "Betapa harum dan enaknya apel ini." Setelah itu, dia
berkata, "Wahai pelayan, kembalikan apel itu kepada orang yang telah
memberikannya dan sampaikan salam kepada tuanmu, katakan kepadanya:
"Hadiahmu telah sampai kepadaku
sebagaimana yang engkau inginkan.' Saya (Amir bin Muhajir) pun berkata,
"Wahai Amirul Mukminin, yang memberikan
ini adalah anak lelaki pamanmu yang adalah salah seorang lelaki
dari keluargamu. Bukankah engkau juga
sudah mendengar kalau Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam juga memakan hadiah yang diberikan
kepadanya?" Umar berkata,
"Celaka kamu. Hadiah pada masa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam adalah memang benar benar hadiah,
sedangkan hadiah pada hari ini bagi kami adalah penyuapan.", hadiah adalah hal
yang mubah artinya dilakukan maupun tidak bukan suatu yang bermasalah justru akan
bermasalah jika terselip hati untuk mempermudah keinginan kepada seorang
pejabat bukan hanya dapat dosa tetapi dapat membuat orang lain susah, susah
karena orang lain menanggungnya karena
pejabat tersebut pada gilirannya termotifasi mengenakan ‘tarif’ walaupun sebetulnya
tidak ada, bukankah amil itu harus bersih dari upaya cacat moral.
Penegakan hukum
Hukum untuk menghentikan perselisihan, mengembalikan hak seseorang dan
memaksa orang salah untuk menangung akibat kesalahannya. disiplin dan upaya
penegakan hukum tanpa pandang bulu sudah membumi di masa umar bin abdul azis, dikisahkan pernah beliau memenjarakan Usamah
bin Zaid at-Tanurkhi seorang pejabat yang semena-mena dan menurunkan Yazid bin
Abi Muslim seorang pejabat yang bengis dan zalim. melihat pemerintahan saat itu
menuai suka cita dan kepercayan rakyat mengalir begitu saja, mereka sukarela mendatangi
baitulmal untuk menyerahkan kewajibannya tanpa perlu paksaan bahkan bukan lagi
suatu yang aneh jika mereka jujur untuk menolak menerima zakat (lagi) lantaran
sudah merasa mampu dan cukup.
Tentunya beberapa point diatas saling terkait dan tidak dapat dipisahkan
guna mengupayakan Baitul Mal mengambil peranan ekonomi yang sangat penting, dan
bukanlah suatu yang berlebihan jika kita melirik kisah kemakmuran negeri pada
zamannya. Dalam bukunya Fiqih Prioritas ditulis oleh Yusuf
Al-Qordhawiy meletakkan kerangka dasar prioritas bahwa “menjadikan para pembaharu mendahulukan
pendidikan dan pembinaan merupakan tuntutan sepajang zaman. Ketika agama
menjadi lemah kemudian umat mengalami kerapuhan, maka agama ini memerlukan
susana baru dan umat perlu dihidupkan,” rupanya hal ini merupakan pola yang
tepat seolah-olah sang khalifah hendak mendidik para mengemban panji perbaikan dan kebangkitan,
pada zamannya perang bukanlah agenda utama, tetapi pendidikan dan perbaikan
ekonomi dalam negeri perlu penanganan utama dan serius oleh beliau.
Ketentraman, kedamaian dan kemakmuran dirasakan hingga dikala itu Umar bin Abdul Azis memangkas pajak dari orang
Nasrani. Tak cuma itu, ia juga menghentikan pungutan pajak dari mualaf.
Kebijakannya itu telah menumbuhkan simpati dari kalangan non Muslim sehingga
mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam. begitulah kholifah Umar telah menyumbangkan
effort yang besar dengan meletakkan keadilan, perdamaian, menciptakan lingkungan politik dan
hukum yang kondusif bagi kemajuan peradaban manusia sehingga tidak ada alasan
bagi Allah untuk menunda rahmat dan berkahnya.
walaupun terkesan kisah Umar nin
Abdul Azis sulit bagi pemimpin negara, paling tidak memberi pelajaran bagi para
pelayan publik dan pemegang dana umat untuk memiliki atmosfir 6 point di atas, sehingga penerima manfaat
betul betul dirasakan.