“Pantaskah kita menemui Sang Kekasih dengan
pakaian compang-camping dan badan kotor penuh lumpur?”
“Pada realitasnya, kita seringkali lebih
menyintai selain Allah daripada menyintai-Nya. Anehnya, meskipun begitu, kita
tetap merasa bahwa Allah selalu menyintai kita dengan dalih Ia Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.”
“Seringkali kekisruhan dalam rumah tangga atau
masyarakat menjadi sukar diredam karena masing-masing pasangan atau anggota
masyarakatnya tidak bisa diam dan lupa bahwa setiap ucapannya harus
dipertanggungjawabkan, sedangkan Nabi saw bersabda, “Jika beriman kepada Allah
dan Hari Akhir, hendaklah berkata yang baik atau (jika tidak) diamlah...” (HR,
Bukhari)
“Meskipun “memaafkan di saat marah, berinfaq di
saat pailit, menjaga diri dari dosa di saat sendirian, dan menyampaikan
kebenaran kepada orang yang ditakuti adalah 4 kebaikan yang paling berat
pelaksanaannya”, seperti dikemukakan Sayyidina Ali Ra, namun demi menjaga
keluhuran moral dan meningkatkan kemajuan spiritual, hal itu tetap harus diupayakan.”
“Penderitaan” itu fakta sedangkan “menderita”
atau “tidak menderita” itu pilihan. Kenyataan, tidak semua “penderitaan” yang
kita alami, kita dapat mengatasinya. “Penderitaan” akan membikin kita menderita
jika kita tidak mau bertawakkal, berserah diri, hanya kepada Allah Swt atas
“penderitaan” yang faktanya kita sendiri tidak mampu mengatasinya.”
“Meskipun menurutkan keinginan dan hasrat diri,
kepuasannya, terkadang tidak seimbang dengan akibatnya, berupa kepedihan
menanggung rasa malu dan penderitaan yang berkepanjangan, namun tetap saja
banyak orang yang melakukannya karena semata-mata ingin mereguk kepuasan.”
"Sejatinya, kekecewaan mengajari kita
untuk bisa memproporsionalkan keinginan”
“Ketika seseorang dicengkeram kecemasan karena
takut keburukan-keburukan yang disembunyikannya akan diketahui orang lain, ia
cenderung akan menyembunyikan di berbagai tempat yang dikira tidak akan
diketahui orang. Hal itu justru membuka peluang lebih besar bagi orang lain
untuk mengetahuinya dan akan semakin menambah penderitaan karena kecemasannya
semakin membesar.
“Jika saja dalam memersepsi dan menyikapi
sesuatu tidak berlebihan sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib, “Cintailah
kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu dan bencilah
musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu”, tentu
pertikaian bisa ditekan untuk tidak mudah berkobar dalam bentuk saling hujat
dan merendahkan.”
“Jika memang serius ingin pahala, tetapi
mengapa sulit memaafkan dan melakukan ishlah ketika kesal atau marah kepada
istri (suami), teman, sahabat, atau saudara yang terlanjur melakukan kesalahan?
Padahal Allah menegaskan, ”...Barangsiapa memaafkan dan berbuat ishlah (kepada
orang yang berbuat jahat sekalipin) maka pahalanya ada pada Allah...” (QS.
Al-Syura [42]: 40)
“Jangan sampai kita menyesal di akhirat nanti
karena ternyata tabungan amal akhirat kita kosong disebabkan selama di dunia
amal baik yang kita lakukan tidak ikhlas, riya (ingin dipuji orang), atau
karena motif-motif duniawi lainnya.”
“Seringkali kekisruhan menjadi sukar diredam,
termasuk dalam keluarga, karena kita lupa bahwa setiap ucapan harus
dipertanggungjawabkan. Akibatnya kita tidak bisa diam. Nabi saw bersabda, “Jika
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata yang baik atau (jika
tidak) diamlah...” (HR, Bukhari)
“Tak semua orang merasa puas jika dirinya,
dengan ucapan dan atau perbuatannya, dapat mempermudah urusan orang lain.
Banyak orang yang justru merasa puas jika dirinya, dengan ucapan dan atau
perbuatannya, dapat mempersulit orang lain.”
“Jika semua aktivitas diawali dengan BISMILLAH,
diharapkan selain dapat meredam nafsu ingin melakukan kejahatan, juga
memperkuat kesadaran bahwa diri kita selalu berada di bawah pengawasan-Nya yang
membuat kita terus melakukan amal baik di sepanjang hari."
”Kepalsuan hubungan antarpersonal semakin
menjadi-jadi jika masing-masing yang terlibat di dalamnya menjustifikasi
kepalsuannya dengan pembenaran-pembenaran
filosofis, sosiologis, dan bahkan religius.”
“Karena
ingin menekankan efektifitas dalam berkomunikasi kita terkadang lupa pada
etika, padahal tanpa etika bisa jadi komunikasi yang ingin kita bangun ambruk
sebelum tegak."
“Sering kita merasa sangat
cemas dengan bayangan perut akan menjadi lapar dan haus tetapi kita tidak
mencemaskan jika yang akan lapar dan haus adalah jiwa kita.”
“Kalaulah bukan karena salah seorang
dari satu pasangan suami istri telah menjadi asing sebagai manusia, dan
karenanya ia seenaknya mendepersonalisasi pasangannya hingga ke status obyek,
tentu tidak akan terpikirkan untuk menyakiti pasangan hidupnya.”
“Nasihat, meski substansi, bahasa yang
digunakan, dan cara penyampaiannya baik, bagi penjahat, sering dianggap
menyakiti hatinya.”
"Meskipun memaafkan itu merupakan ciri seorang
mukmin dan berpahala besar, namun karena faktor nafsu, kebencian, dan dendam
yang membuat hati menjadi keras membatu, ia tak mudah menjadi budaya dalam
kehidupan sosial kita."